SELAMAT MEMBURU TEMPAT SEJARAH

Sejarah selalu menyimpan misteri, telusuru dia dan ungkapkan kebenarannya.....!!

aceh

Selasa, 09 Februari 2010

Jejak Perjuangan Teuku Panglima Polem

TEUKU PANGLIMA POLEM
Pendahuluan
Dalam sistem dan struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam ditemukan
lebih kurang sebanyak tiga puluh tujuh gelar kehormatan sesuai dengan tingkat wibawa,
wewenang den tanggungjawab yang mereka miliki masing-masing. Sebutan Panglima
Polem merupakan salah satu dari sekian banyak gelar kehormatan tersebut yang secara
khusus dinobatkan kepada salah seorang keturunan darah kaum bangsawan Aceh.
(Alamsyah: 1990, 10-18). Dalam sistem pemerintahan kerajaan Aceh, Panglima Polem
merupakan pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) dengan gelar
tambahan Sri Muda Setia Peurkasa. Sedangkan untuk sebelah kanan Aceh Besar Panglima
Sagoe Mukim XXVI bergelar Sri Imam Muda dan untuk sebelah kiri Mukim XXV bergelar
Setia Ulama. Walaupun masing-masing Panglima Sagoe tersebut membawahi para
Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchik, namun hanya sagoe pedalaman saja yang berhak
memiliki gelar Panglima Polem.
Dengan demikian, sebutan Panglima Polem bukanlah nama asli dari tokoh yang
bersangkutan, tetapi merupakan gelar kehormatan yang dinobatkan karena
kebangsawanan sekaligus karena jabatan seseorang. Oleh karena itu, dalam sejarah
kerajaan Aceh ditemukan gelar Panglima Polem yang selalu diikuti oleh nama lain sebagai
nama asli dari tokoh yang bersangkutan.
Tokoh Panglima Polem yang dibahas dalam tulisan ini adalah Muhammad Daud,
yang diangkat menjadi Panglima Sagoe Mukim XXII Pedalaman Aceh Besar menjelang
berakhirnya Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah
(1884-1903). Sebagai tangan kanan Sultan, maka selain Teuku Umar dialah salah seorang
tokoh yang paling banyak menentukan nasip akhir dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Silsilah Panglima Polem IX
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan
tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari
keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak
dan Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan
nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima
Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. (Ibrahim Alfian: 1977, 41)
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah
seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bagntamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan
ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk
menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah.
Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap
Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. (Ibrahim Alfian: 1977,
209).
Dukungan Keluarga
Dalam perjuangannya sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh
Besar), Teuku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu oleh dua
orang Panglima, yakni abang iparnya yang bernama Teuku Ali Basyah dari Geudong dan
Teuku Ibrahim Montasie'. Di samping itu, Panglima Polem juga mendapat dukungan yang
sangat kuat dari mertuanya Tuanku Hasyim Bangtamuda. Di mana dia sendiri berhasil
mengumpulkan dana sabilillah dari wilayah bawahannya XXII Mukim yang jumlahnya
sekitar 35.000 ringgit dan mertuanya Tuanku Hasyim juga berhasil mengumpulkan amunisi
dari Daerah VII Mukim Pidie.
Dukungan Ulama
Selain itu, dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak langsung
juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh, seperti Teungku Mayet Tiro, Teungku
Klibeuet, Habib Lhong dan Teungku Geulima. Mereka mendirikan kubu-kubu pertahanan
rakyat Aceh guna menghadapi serangan Belanda, terutama terhadap Daerah XXII Mukim.
Bahkan lebih dari itu, ternyata para ulama juga ikut aktif pada barisan terdepan dalam
menghadapi Belanda. Teungku Muhammad Amin misalnya, dia secara riil memperoleh
pengakuan dari Sultan Muhammad Daud Syah sebagai pimpinan pejuang menggantikan
Teungku Chi' Syaikh Saman di Tiro yang telah berpulang ke rahmatullah pada tahun 1892.
Di samping itu, peperangan juga dipimpin langsung oleh Teungku Pante Kulu, Teungku
Kuta Karang, Habib Samalanga, Teungku Ati Lam Kra', Teungku Mat Saleh, Teungku
Rayeu', Teungku Di Caleue, Teungku Husen Lueng Bata, Habeb Lhong dan Pocut Mat Tahe.
(Ibrahim Alfian: 1977, 42).
Sebagai pendukung utama Panglima Polem dari pihak ulama, maka Teungku
Muhammad Amin dan Teungku Beb diangkat menjadi Panglima Besar Pasukan Muslimin. Di
samping itu, secara khusus diangkat pula Teuku Nyak Makam sebagai Panglima Besar
untuk wilayah Aceh Timur. Pada tahun 1893 Nyak Makam tecatat berhasii menggerakkan
sebuah perlawanan yang cukup sengit di daerah Tamiang yang telah menewaskan
sejumlah perwira dan pasukan Belanda.
Bergabung Dengan Teuku Umar
Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan rakyat
Aceh. Kesulitan itu diperparah lagi oleh segala siasat Teuku Umar bersama 15 orang
panglimanya yang pada bulan September 1 893 secara pura-pura menyerah kepada
Belanda, lalu dia diangkat sebagai Panglima Perang Besar di pihak Belanda.
Di penghujung bulan Maret 1896 setelah terjadi penyerangan besar-besaran
terhadap patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII Mukim Ba'et Aceh Besar, secara dramatis
Teuku Umar bersama 15 pengikutnya berbalik kembali membela rakyat Aceh. Teuku Umar
meninggalkan Belanda setelah memiliki dana, persenjataan, dan telah banyak menguasai
teknik tempur dari pihak Belanda. Pada tanggal 26 April 1896 (ia dipecat oleh penguasa
Belanda dari segaia jabatannya dan sejak saat itu dia menjadi tokoh utama yang paling
diincar oleh pihak Belanda. Dalam pengejaran Teuku Umar, Gubernur Belanda Deijkerhoff
meminta bantuan penambahan pasukan dari Pemerintah Pusat di Batavia. Bantuan
pasukan besar-besaran tiba bersama Panglima Angkatan Darat dan Panglima Angkatan
Laut Belanda di bawah pimpinan Vetter. Mereka menggempur seluruh kubu pertahanan
Aceh dari semua lini.
Sementara ilu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang
pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda.
(Ibrahim Alfian: 1977, 45). Dalam pertempuran besar-besaran yang berlangsung selama
14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April di pihak Belanda jatuh korban sebanyak 215
orang tewas dan 190 orang luka-luka. Dengan perasaan takut bercampur marah pasukan
Belanda kembali menekan dan mempertajam serangannya, sehingga dalam pertempuran
di Aneuk Galung Belanda berhasil menjatuhkan korban di pihak Aceh sebanyak 110 orang
sedangkan di pihak mereka hanya 6 orang tewas dan 33 orang luka-luka, di antaranya 4
orang, perwira. Para pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran itu kebanyakan berasal
dari daerah Pidie. Di dalamnya terdapat salah seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat
tangguh yakni Teungku Mat Amin (salah seorang putera Teungku Chi' di Tiro).
Di bawah pimpinan Gubernur J. W. Stemfoort, Belanda merubah pola pertahannya
dari sistem konsentrasi ke politik agresi. Walaupun demikian, Belanda tetap menjaga
keamanan wilayah yang penduduknya sedikit agak bersahabat dengan pihak mereka,
seperti XXV Mukim, IV Mukim dan VI Mukim yang dalam perkembangan selanjutnya
menjadi wilayah sasaran penyerangan Teuku Umar dan Panglima Polem.
Bergerilya ke Pegunungan XXII Mukim
Awal bulan Juli 1896 kawasan XXII Mukim, tempat dimana Sultan Muhammad Daud
Syah berada mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda. Penyerangan ini
memaksa Sultan Aceh mengundurkan diri ke Pedalaman Seulimeum pada tanggal 29 Juli
1896. Pihak Belanda dengan kekuatan 1,5 batalion infantri kemudian menyerang kawasan
Seulimeum setelah mengetahui keberadaan Sultan Aceh di sana. Mendapatkan
penyerangan itu, pada bulan September Sultan hijrah ke Pidie.
Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka
demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama
pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat
benteng pertahanan di wilayah itu.
Sejak awal September hingga akhir bulan Oktober 1896 Belanda rnenyerang XXII
Mukim. Belanda dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh, hingga
mereka berhasil menduduki Jantho.
Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat
perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergrilya sambil mendirikan
kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Dari sini
Panglima Polem berhasil menduduki Kuta Ba'Teue. Cuaca buruk yang luar biasa sejak
Nopember 1896 hingga pertengahan Januari 1897 sangat banyak membantu pola grilya
yang dimainkan Panglima Polem. Curah hujan yang luar biasa membuat sebagian besar
jalan lintas yang sering digunakan pasukan Belanda menjadi becek, longsor dan sangat
sukar untuk dilalui.
Hijrah Ke Pidie
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah
pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku
Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke Daya Hulu. Untuk mengelabui
Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar sengaja meninggalkan Panglima Polem
bersama sejumlah pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum.
Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, dengan kekuatan 4 kompi infantri
Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem.
Dalam pertempuran ini secara keseluruhan korban yang jatuh berjumlah 27 orang tewas
dan 47 orang luka-luka. Bulan Oktober 1897 secara keseluruhan Wilayah Seulimeum
akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem
terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Menyusun Setrategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh
Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada
di Keumala. Dalam bulan dan tempat yang sama, Panglima Polem mengadakan suatu
musyawarah bersama dengan beberapa orang tokoh pejuang Aceh lainnya, seperti Teuku
Geudong dari IX Mukim Garot, Teuku Lampoh U, Teuku Ali Baet, Teuku Ban Sama' Indra,
Teungku Cot Plieng, Teuku Bentara Cumbo' dan habib Husen. Musyawarah ini bertujuan
untuk menyusun siasat baru dalam mengantisipasi kemungkinan kalau Belanda melakukan
penyerangan ke Pidie. Mereka juga mengundang agar Teuku Umar yang pada waktu itu
masih berada di Daya datang ke Pidie untuk bergabung bersama.
Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh
kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya
untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima
Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya
menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat
bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.
Menghadapi Serangan Belanda
Setelah Belanda membaca situasi dan kondisi pertahanan Aceh di lapangan, maka
sejak tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan
besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz yang
sejak bulan Maret 1898 telah diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda
menggantikan Mayor Jenderal van Vliet. Dalam menyusun strategi Heutsz didampingi oleh
Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan
Bumiputera. Serangan ini mereka bagi dalam dua koloni, yakni koloni Pidie yang
berkekuatan lebih kurang 6000 orang dan koloni Seulimeun yang jumlahnya kira-kira 1950
orang.
Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi
beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima
Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung
berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya. Adapun Teuku Umar
dipercayakan umuk memperkuat pertahanan di wilayah Aree dan Garot. Secara umum
peperangan ini telah banyak memberikan angin segar bagi pihak Belanda, karena serangan
itu telah memaksa para pejuang Aceh untuk mengundurkan diri dan daerah Pertahanannya
ke wilayah yang lebih aman.
Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem
sendiri akhimya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan diri dari Pidie menuju Timur
ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai
akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima
Polem hanya berhasil menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka-luka,
sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.
Keberhasilan Belanda dalam serangan ini membuat mereka semakin berani
melakukan pengejaran. Setelah menguasai perbukitan pedalaman Peusangan pada tanggal
21 November 1898, Belanda akhirnya berhasil membuat kesatuan pasukan Aceh menjadi
terpencar-pencar. Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit
Peutoe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah
Pidie. Di wilayah tersebut mereka bertahan selama dua bulan sampai akhirnya Belanda
melakukan pembersihan seluruh benteng-benteng Aceh yang masih terdapat di Samalanga
dan Meureudu.
Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem
mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian
menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama
Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan
penyerangan terhadap Belanda.
Sementara itu, pihak Belanda sendiri sudah sejak lama ingin menyerang daerah
Gayo, karena penduduk di sana selalu memberikan bantuan perang sabil dan perbekalan
kepada Sultan dan para pejuang Aceh. Apalagi setelah pihak Belanda mengetahui
keberadaan Sultan dan panglima Polem di daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah
pedalaman Gayo yang dijadikan sebagai daerah alternatif bagi pusat pertahanan Aceh
akhirnya mendapat serangan pihak Belanda dari segala penjuru.
Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor van Daalen selama tiga bulan
(sejak September hingga November 1901) terus saja melakukan gerakan pengejaran
terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Akan tetapi Belanda
benar-benar mengalami kesulitan yang luar biasa dalam setiap kali pertempuran. Hal itu
disebabkan dataran tinggi Gayo sebelumnya tidak pernah dijamah oleh pasukan mereka.
Oleh karenanya, Belanda tidak membawa hasil apa-apa dari penyerangan ini, kecuali
hanya mendapat sasaran tembak dan pasukan Aceh yang memang lebih menguasai
medan.
Untuk memperkuat barisan penyerangannya, maka Pada bulan Juni sarnpai
September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens
bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Kehadiran pasukan
Scheepens ini memang sangat banyak membantu penyerangan Belanda, sehingga pasukan
Aceh sejak saat itu mulai mengalami tekanan yang luar biasa. Walaupun demikian,
Belanda tetap saja gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem.
Siasat Kelicikan Belanda
Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan
Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda
menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur
strategi baru dengan cara yang sangat licik yakni dengan cara menangkap orang-orang
dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan. Oleh karena itu, pada tanggal 26
November 1902, pasukan Marsose di bawah Christoffel kemudian melakukan penyerbuan
dan berhasil menangkap isteri Sultan dan Teungku Putroe yang pada saat itu rnasih berada
di Glumpang Payong. Sebulan kemudian bertepatan dengan hari Natal, Belanda kembali
berhasil menangkap isteri Sultan yang lainnya Pocut Cot Murong dan juga seorang Putera
Sultan di Lam Meulo. Setelah berhasil menangkap para kerabat Sultan Muhammad Daud
Syah, Belanda kemudian mengeluarkan ancaman yang berisi apabila Sultan tidak
menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.
Berdamai dengan Belanda
Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan
Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Selanjutnya Pemerintah Hindia
Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan
wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Sedangkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa
Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai
dengan Belanda.
Penutup
Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku
Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat
Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat
bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, di mana ternyata rakyat Aceh
tidak pernah mau berdamai apa lagi menyerah kepada Belanda. Oleh karena itu,
peperangan demi peperangan antara rakyat Aceh dengan Belanda terus saja berlangsung.
Walaupun ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dengan berdamainya Sultan Daud
pada tahun 1903 dengan Belanda berarti kedaulatan Aceh sudah tidak ada lagi, namun
yang jelas peperangan demi peperangan tidak pernah berakhir secara tegas. Para pejuang
Aceh lainnya bersama seluruh rakyat yang merasa harkat dan martabatnya terinjak-injak
masih tetap saja melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap Belanda. Peperangan
terus saja berlangsung sampai masa penjajahan Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar